Mekanisme dan Prosedur Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya


Sunday, 24 March 2013


Perubahan konstitusi atau Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan salah satu proses peralihan Indonesia menuju perubahan demokrasi yang lebih baik. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan hingga empat kali berturut-turut. Perubahan UUD 1945 ini dilakukan pertama kali pada tahun 1999, dan perubahan yang keempat dilakukan pada tahun 2002. Amandemen Undang-Undang 1945, mempengaruhi  hukum negara dan sistem ketatanegaraan Indonesia dan menyebabkan semuanya berubah, salah satunya adalah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di dalam masa jabatannya. Aturan ini dibuat dengan latar belakang bahwa kekuasaan perlu dibatasi dan ditemani dengan adanya fungsi pengawasan dan keseimbangan yang bertujuan agar Presiden dan Wakil Presiden dapat menjaga sikap dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Dalam ketentuan ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lah yang mengatur pemberhentian Presiden dan/ Wakil Presiden di masa jabatannya berdasarkan usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketentuan ini telah diatur dalam pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945.
Pada masa pemerintahan Soekarno, tanda-tanda ke-otoritasan mulai nampak, yang paling menonjol pada masa itu adalah saat pembubaran DPR hasil pemilu pada tahun 1955. Selain itu, Soekarno juga merubah Kabinet Kerja III menjadi Kabinet Kerja IV, ditengah krisis ekonomi peristiwa G 30 S/PKI terjadi dan membuat para mahasiswa beramai-ramai melakukan demonstrasi dan mengusng Tritura yang isinya adalah sebagai berikut:
1.      Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya
2.      Perombakan kabinet DWIKORA
3.      Turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan
Pada tanggal 22 Juni 1966, bersamaan dengan pelantikan MPRS, Soekarno melakukan upaya terakhir dengan melakukan pidato yang ia sebut dengan pertanggung jawaban sukarela dan berjudul “Nawaksara” namun DPRGR tidak puas dengan pidato tersebut khususnya dengan hal-hal yang menyebabkan peristiwa G 30 S/PKI terjadi. Oleh sebab itu, DPRGR mengajukan pernyataan pendapat dan memorandum kepada MPRS. Atas dasar memorandum tersebut, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS yang meminta Presiden Soekarno untuk mempertanggung jawabkan semuanya, tapi karena pertanggung jawaban Soekarno tidak dapat diterima maka melalui TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 majelis mencabut pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi pejabat Presiden, saat itulah untuk pertama kalinya terjadi pemakzulan atau pemberhentian Presiden oleh MPRS berdasarkan usulan DPRGR. Pada saat itu, pasal 8 UUD 1945 yang mengharuskan Wakil Presiden menggantikan posisi Presiden saat terjadi kekosongan kekuasaan tidak berlaku karena pada saat itu tidak ada Wakil Presiden. Selanjutnya pada masa kepemimpinan Soeharto, para mahasiswa kembali berdemonstrasi dan menuntut Presiden yang berkuasa selama 32 tahun ini untuk turun dan berhenti menjabat sebagai Presiden dan pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mundur dari jabatannya yang kemudian digantikan oleh Wakil Presidennya yaitu Prof.Dr.BJ.Habibie. Pada saat Habibie manjabat sebagai Presiden, seharusnya ia menjabat hingga masa akhir jabatan kepemimpinannya habis, namun Habibie meminta agar pemilu dapat dilakukan secepatnya, dan dalam Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999, Habibie membacakan pidato mengenai pertanggung jawabannya namun pidatonya ditolak oleh MPR karena Habibie menyatakan bahwa ia tidak ia tidak bersedia dicalonkan menjadi presiden untuk tahun berikutnya dan jika dilihat dari dari aspek hukum ketatanegaraan, penolakkan pidato pertanggung jawaban Habibie oleh MPR mendapatkan sanksi yang berakibat bahwa ia tidak dapat mencalonkan sebagai Presiden untuk periode selanjutnya.
Berdasarkan Undang-Undang 1945 (UUD 1945) Amandemen ketiga pasal 7A menjelaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.”
Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap yang pertama dilakukan oleh DPR dan tertuang dalam pasal 7B ayat (2) Amandemen ketiga yang berbunyi “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Dan dalam pasal 7B ayat (3) Amandemen ketiga yang berbunyi “Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dijelaskan bahwa DPR dapat mengajukan pendapat apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau Wakil Presiden. Dan dalam mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi (MK), hanya dapat dilakukan dengan dukungan minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna dengan kata lain, apabila jumlah dukungan dari anggota DPR kurang dari 2/3 maka usulan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dipenuhi atau dilakukan. Akan tetapi, apabila dukungan memenuhi atau berjumlah 2/3 dari jumlah anggota DPR, maka usulan DPR tersebut dapat diterima dan dapat ditindaklanjuti oleh MK.
Tahap kedua, dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sesuai dengan Undang-Undang 1945 (UUD 1945) pasal 7B ayat (4) Amandemen ketiga yang berbunyi Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.”
Dalam pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi bertugas dan wajib memeriksa, mengadili dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat yang diajukan oleh DPR, apabila usulan atau pendapat terbukti benar, maka tahap yang dilakukan selanjutnya adalah DPR harus menyelenggarakan kembali sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 7B ayat (5) Amandemen ketiga yang berbunyi Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Setelah DPR menyelenggarakan sidang paripurna,DPR langsung mengajukan usul kepada MPR dan MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut, dalam mengambil keputusan, sidang MPR wajib dihadiri oleh 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir dalam sidang tersebut, kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menjelaskan dalam sidang paripurna yang dilakukan oleh MPR. Prosedur tersebut telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 7B ayat (6) dan ayat (7) Amandemen ketiga yang berbunyi “(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut” dan “(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Apabila usul DPR diterima oleh MPR, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden langsung diberhentikan tetapi apabila usulan DPR tidak diterima, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diberhentikan.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Prosedur Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan melalui 4 tahap, antara lain adalah sebagai berikut:
  1. DPR memberikan usul yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden sudah melanggar hukum dan tidak layak menjadi pemimpin negara, yang kemudian usul tersebut diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
  2. Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan terhadap Presdiden dan/atau Wakil Presiden yang kemudian memeberikan keputusan dengan seadil-adilnya.
  3. Apabila usulan DPR yang diajukan kepada MK terbukti kebenarannya, maka DPR harus meyelenggarakan sidang paripurna dan membahas kembali Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang kemudian usul DPR tersebut langsung diajukan kepada MPR.
  4. Setelah mendapatkan usul dari DPR, MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR dan memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menjelaskan. Apabila usul DPR diterima maka Presiden dan/atau Wakil Presiden langsung diberhentikan di masa jabatannya, sedangkan apabila usul DPR tidak diterima oleh MPR maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diberhentikan.


2 comments:

Shein Shein said...

*stand applause*
buatanmu fin? Aku bikin itu 5 jam lah -.-"

Erfini Hanifani said...

kayak gitu bener gitu va??
aku ngerjain itu semaleman va, belum selesai itu teh, yang pengangkatan presiden oleh MPR nya belum dibikin. itu ada sedikit ngambil d internet,tp selebihnya aku yg karang sendiri.