Perubahan
konstitusi atau Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan salah
satu proses peralihan Indonesia menuju perubahan demokrasi yang lebih baik.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan hingga empat kali berturut-turut.
Perubahan UUD 1945 ini dilakukan pertama kali pada tahun 1999, dan perubahan
yang keempat dilakukan pada tahun 2002. Amandemen Undang-Undang 1945,
mempengaruhi hukum negara dan sistem
ketatanegaraan Indonesia dan menyebabkan semuanya berubah, salah satunya adalah
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di dalam masa jabatannya. Aturan
ini dibuat dengan latar belakang bahwa kekuasaan perlu dibatasi dan ditemani
dengan adanya fungsi pengawasan dan keseimbangan yang bertujuan agar Presiden
dan Wakil Presiden dapat menjaga sikap dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Dalam ketentuan ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lah yang mengatur
pemberhentian Presiden dan/ Wakil Presiden di masa jabatannya berdasarkan
usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketentuan ini telah diatur dalam pasal 7B
Undang-Undang Dasar 1945.
Pada
masa pemerintahan Soekarno, tanda-tanda ke-otoritasan mulai nampak, yang paling
menonjol pada masa itu adalah saat pembubaran DPR hasil pemilu pada tahun 1955.
Selain itu, Soekarno juga merubah Kabinet Kerja III menjadi Kabinet Kerja IV,
ditengah krisis ekonomi peristiwa G 30 S/PKI terjadi dan membuat para mahasiswa
beramai-ramai melakukan demonstrasi dan mengusng Tritura yang isinya adalah
sebagai berikut:
1. Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya
2. Perombakan kabinet DWIKORA
3. Turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan
Pada
tanggal 22 Juni 1966, bersamaan dengan pelantikan MPRS, Soekarno melakukan
upaya terakhir dengan melakukan pidato yang ia sebut dengan pertanggung jawaban
sukarela dan berjudul “Nawaksara” namun DPRGR tidak puas dengan pidato tersebut
khususnya dengan hal-hal yang menyebabkan peristiwa G 30 S/PKI terjadi. Oleh
sebab itu, DPRGR mengajukan pernyataan pendapat dan memorandum kepada MPRS.
Atas dasar memorandum tersebut, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS yang
meminta Presiden Soekarno untuk mempertanggung jawabkan semuanya, tapi karena
pertanggung jawaban Soekarno tidak dapat diterima maka melalui TAP MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967 majelis mencabut pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat Soeharto
menjadi pejabat Presiden, saat itulah untuk pertama kalinya terjadi pemakzulan
atau pemberhentian Presiden oleh MPRS berdasarkan usulan DPRGR. Pada saat itu,
pasal 8 UUD 1945 yang mengharuskan Wakil Presiden menggantikan posisi Presiden
saat terjadi kekosongan kekuasaan tidak berlaku karena pada saat itu tidak ada
Wakil Presiden. Selanjutnya pada masa kepemimpinan Soeharto, para mahasiswa
kembali berdemonstrasi dan menuntut Presiden yang berkuasa selama 32 tahun ini
untuk turun dan berhenti menjabat sebagai Presiden dan pada tanggal 21 Mei
1998, Soeharto mundur dari jabatannya yang kemudian digantikan oleh Wakil
Presidennya yaitu Prof.Dr.BJ.Habibie. Pada saat Habibie manjabat sebagai
Presiden, seharusnya ia menjabat hingga masa akhir jabatan kepemimpinannya
habis, namun Habibie meminta agar pemilu dapat dilakukan secepatnya, dan dalam
Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999, Habibie membacakan pidato mengenai
pertanggung jawabannya namun pidatonya ditolak oleh MPR karena Habibie
menyatakan bahwa ia tidak ia tidak bersedia dicalonkan menjadi presiden untuk
tahun berikutnya dan jika dilihat dari dari aspek hukum ketatanegaraan,
penolakkan pidato pertanggung jawaban Habibie oleh MPR mendapatkan sanksi yang
berakibat bahwa ia tidak dapat mencalonkan sebagai Presiden untuk periode
selanjutnya.
Berdasarkan
Undang-Undang 1945 (UUD 1945) Amandemen ketiga pasal 7A menjelaskan bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.”
Prosedur
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya dilakukan
melalui beberapa tahap. Tahap yang pertama dilakukan oleh DPR dan tertuang
dalam pasal 7B ayat (2) Amandemen ketiga yang
berbunyi “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat.”
Dan dalam pasal 7B ayat (3) Amandemen ketiga
yang berbunyi “Pengajuan permintaan
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”
Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, dijelaskan bahwa DPR dapat mengajukan pendapat apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau Wakil Presiden. Dan dalam
mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi (MK), hanya dapat dilakukan dengan
dukungan minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna
dengan kata lain, apabila jumlah dukungan dari anggota DPR kurang dari 2/3 maka
usulan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat
dipenuhi atau dilakukan. Akan tetapi, apabila dukungan memenuhi atau berjumlah
2/3 dari jumlah anggota DPR, maka usulan DPR tersebut dapat diterima dan dapat
ditindaklanjuti oleh MK.
Tahap
kedua, dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sesuai dengan Undang-Undang
1945 (UUD 1945) pasal 7B ayat (4) Amandemen ketiga yang berbunyi “Mahkamah
Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh
hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah
Konstitusi.”
Dalam
pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi bertugas dan wajib memeriksa, mengadili dan
memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat yang diajukan oleh DPR,
apabila usulan atau pendapat terbukti benar, maka tahap yang dilakukan
selanjutnya adalah DPR harus menyelenggarakan kembali sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, seperti yang
dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 7B ayat (5) Amandemen ketiga yang berbunyi “Apabila
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan
sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Setelah DPR menyelenggarakan sidang paripurna,DPR
langsung mengajukan usul kepada MPR dan MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul DPR tersebut, dalam mengambil keputusan, sidang MPR wajib
dihadiri oleh 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir
dalam sidang tersebut, kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan untuk menjelaskan dalam sidang paripurna yang dilakukan oleh MPR.
Prosedur tersebut telah tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 7B ayat (6) dan ayat (7) Amandemen ketiga yang
berbunyi “(6) Majelis Permusyawaratan
Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan
Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan
Rakyat menerima usul tersebut” dan “(7)
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Apabila usul DPR diterima oleh MPR, maka Presiden
dan/atau Wakil Presiden langsung diberhentikan tetapi apabila usulan DPR tidak
diterima, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diberhentikan.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Prosedur Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan melalui 4 tahap, antara lain adalah sebagai berikut:
- DPR memberikan usul yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden sudah melanggar hukum dan tidak layak menjadi pemimpin negara, yang kemudian usul tersebut diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
- Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan terhadap Presdiden dan/atau Wakil Presiden yang kemudian memeberikan keputusan dengan seadil-adilnya.
- Apabila usulan DPR yang diajukan kepada MK terbukti kebenarannya, maka DPR harus meyelenggarakan sidang paripurna dan membahas kembali Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang kemudian usul DPR tersebut langsung diajukan kepada MPR.
- Setelah mendapatkan usul dari DPR, MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR dan memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menjelaskan. Apabila usul DPR diterima maka Presiden dan/atau Wakil Presiden langsung diberhentikan di masa jabatannya, sedangkan apabila usul DPR tidak diterima oleh MPR maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diberhentikan.

2 comments:
*stand applause*
buatanmu fin? Aku bikin itu 5 jam lah -.-"
kayak gitu bener gitu va??
aku ngerjain itu semaleman va, belum selesai itu teh, yang pengangkatan presiden oleh MPR nya belum dibikin. itu ada sedikit ngambil d internet,tp selebihnya aku yg karang sendiri.